Minggu, 16 November 2008


Hidup adalah Seperti Benang

by : Titut Mulyono


Sering aku berpikir, bagaimanakah seharusnya kita menjalani hidup ini, agar hidup kita bisa menjadi berarti. Karena kita tahu, hidup tak bisa diulang, dan hanya sebentar. Bahkan sering diibaratkan hidup kita hanya seperti sedang berteduh di bawah sebuah pohon, begitu sekejapnya. Sungguh suatu pertanyaan besar, bagaimana kita dapat mengisi hidup kita yang hanya sekejap ini, dengan hal-hal yang berguna dan berarti, baik untuk kita, maupun untuk orang-orang yang ada di sekeliling kita.


Akhir-akhir ini aku sedang belajar merajut. Sebuah kegiatan yang pernah aku lakukan ketika aku masih berusia 10tahun. Kegiatan ini sangat menyenangkan untukku, karena disamping aku bisa mendapatkan hasil karya dari tanganku sendiri, yang membuahkan kepuasan, ternyata, selama merajut, aku seperti menjalani terapi. Terutama terapi untuk menjadi tekun, sabar, tapi juga tetap memiliki ambisi (karena ingin segera melihat hasilnya, hehe..).


Sambil merajut, aku juga memiliki waktu untuk merenungi segala sesuatu yang telah aku lewati dalam kehidupan ini. Baik suka, maupun duka. Susah maupun senang, tawa maupun tangisan. Ketika merajut, aku juga seperti diputarkan kembali semua kenangan tersebut. Kenangan dari mulai aku masih kecil, hingga saat ini, semua yang telah aku lalui seperti diputar kembali dalam ingatanku...sampai akhirnya, aku menemukan sedikit filosofi dari seutas benang.


Jika dilihat secara selintas, apalah arti sebuah benang...? Sungguh tidak menarik dan tidak berguna jika ia hanya tetap menjadi seutas benang belaka.. Tapi melalui tangan-tangan terampil, kreatifitas, dan teknologi yang semakin maju, seutas benang dapat menjadi berbagai macam bentuk yang dapat berguna untuk kehidupan manusia. Sebut saja, ia dapat menjadi sebuah taplak meja, berbagai macam jenis kain, baju, alas tidur, alat kesehatan, kebersihan, dan lain sebagainya. Sungguh banyak yang dapat dibuat dari seutas benang. Yang terpenting untuk menjadikannya hal yang lebih besar dan berguna, adalah ilmu, wawasan, skill, kreatifitas dan teknologi.


Begitu juga halnya dengan hidup kita. Baru akan menjadi hal yang lebih besar dan berguna, jika kita memiliki ilmu, wawasan, skill, kreatifitas dan menguasai teknologi. Kita yang menentukan akan menjadi apa hidup kita ini, akan berguna dan berartikah hidup kita. Kita juga yang menentukan, akan kita buat seperti apa hidup kita, seperti hal nya benang, akan kita buat menjadi apa benang itu. Apakah menjadi taplak meja, baju, syal, sprei, atau apa saja..


Kita semua dilahirkan sama, yaitu sama-sama seperti benang, yaitu lurus, dan panjang. Tinggal terserah kita, mau kita rajut/tenun menjadi apa. Karena itu pembekalan diri dalam ilmu, wawasan, skill, dan pengetahuan teknologi, menjadi amat penting. Dan jangan lupa, kita juga harus membekali anak-anak kita dengan ilmu, wawasan, skill dan teknologi, agar mereka nanti dapat membuat hidup mereka menjadi "taplak yang indah", atau "bedcover yang mengagumkan", atau bahkan selembar "gaun yang sangat exotic".


Terima kasih benang, karena melaluinya, kita dapat lebih mengembangkan diri lagi, agar tidak hanya karya rajutan yang menjadi indah, tapi kita juga dapat membuat hidup kita menjadi indah.

Kamis, 06 November 2008


Apakah Kita Butuh Penghargaan ?
(Single Mom's Matters)

by : Titut Mulyono

Being Single Mom, sepertinya selalu mendatangkan atau menarik masalah. Baik dalam lingkungan kerja, keluarga, maupun sosial; baik masalah besar maupun kecil. Banyak "labeling" yang di"tempel"kan pada seorang single mom, sementara di sisi lain single mom terus ditumpuki oleh segudang "keharusan" dan kewajiban. Hal ini yang sering membuat seorang single mom menjadi extra sensitif.

Ada seorang teman saya, sebut saja bernama Tina, yang menceritakan kekesalannya pada mantan suaminya, di masa pasca perceraian. Tina yang telah hampir 3 tahun menjadi single mom, dan kedua anaknya tinggal dengannya, menceritakan kepada saya, bahwa suatu hari dikala ia tengah bekerja dan tidak ada di rumah, mantan suaminya datang ke rumahnya untuk menjenguk kedua anak mereka. Jika dilihat selintas, hal tersebut seharusnya tidak menjadi sebuah masalah. Namun, Tina merasa jengkel, karena mantan suaminya tersebut tidak memberi kabar apapun atas niatnya untuk mengunjungi anak-anak. Dan Tina baru mengetahuinya beberapa hari kemudian, dari kedua anaknya itu.

Tina merasa begitu geram pada mantan suaminya yang telah menikah lagi itu. Ia merasa dilangkahi, karena sang mantan telah memasuki rumahnya tanpa kulonuwun atau assalamu'alaikum terlebih dahulu kepada pemilik rumah yaitu dirinya. Menurut Tina, hal tersebut sangat keterlaluan. Karena bagaimanapun, mantan suaminya, sekalipun adalah ayah dari kedua anaknya, bukanlah lagi menjadi bagian dari rumah tempat dimana Tina tinggal. Sudah sepatutnya jika sang mantan ingin memasuki rumahnya, kulonuwun atau assalamu'alaikum terlebih dahulu. Tina merasa ia tidak lagi dihargai oleh mantannya itu.

Kemudian Tina mencoba menghubungi mantan suaminya itu melalui sms dan telepon. Tapi sang mantan tidak pernah menjawab sms dan teleponnya. Tina semakin geram, hingga suatu waktu ia berhasil menghubungi mantan suaminya itu melalui jalur maya, internet.

Dari pembicaraan Tina dengan mantannya, Tina menceritakan bahwa mantannya itu ternyata telah mem-blacklist nomor telepon Tina, sehingga apapun yang dikirimkan oleh Tina pada mantannya itu tidak akan pernah sampai dan tidak akan pernah dijawab. Dan ketika Tina menanyakan mengapa mantannya itu tidak memberi kabar padanya ketika akan menjenguk kedua anak mereka, Tina merasa sangat kaget dengan jawaban sang mantan yang mengatakan bahwa "tidak penting" untuk memberi kabar padanya, ataupun kulonuwun terlebih dahulu. Malah Tina dikatakan oleh mantannya sebagai wanita yang "gila hormat", sekalipun Tina sudah mengemukakan bahwa ia cukup dikabari saja melalui sms sekalipun, dan ia akan selalu mengijinkan kapanpun mantannya ingin menemui kedua anaknya, sekalipun pada waktu tengah malam atau dini hari. Dan yang lebih membuat Tina geram, adalah mantannya malah menuduhnya ingin menjauhkan dirinya dari kedua anaknya.

Tina sungguh sakit hati dengan perlakuan mantannya itu. Ia merasa mantannya itu sudah sama sekali tidak menghargai dirinya, sebagai ibu dari kedua anak mereka, yang telah membesarkan dan merawat kedua anak tersebut dengan keringat dan airmata. Dan semenjak itu, setiap kali mantannya datang ke rumah untuk mengajak kedua anak mereka jalan-jalan, Tina tidak mau lagi bertemu dengan mantannya.

Meskipun hingga saat ini, saya tidak habis mengerti mengapa hal tersebut dapat terjadi pada Tina, dan mengapa mantan suaminya itu berperilaku seperti itu, saya malah bertanya-tanya pada diri sendiri : Apakah kita perlu penghargaan atau dihargai (oleh mantan suami) ? Apalagi oleh seorang mantan yang berpola pikir seperti itu?

Lama saya berpikir dan merenung untuk mendapatkan jawaban itu. Saya juga menjadi bertanya kesana kemari untuk mendapatkan jawabannya. Pada akhirnya saya mendapatkan jawabannya, dan mengutarakannya, bahwa kita tidak perlu penghargaan atau dihargai oleh mantan suami kita, atas apapun yang telah kita lakukan kepada anak-anak kita; atau oleh siapapun. Keikhlasan dan niat baik, adalah kuncinya. Dan penghargaan dari manusia atau dihargai oleh manusia, adalah bukanlah hal yang penting. Karena baik perbuatan atau perkataan yang dilandasi oleh niat baik dan ikhlasan, akan mendapat penghargaan dan akan dihargai oleh Sang Pemilik Semesta. Mengapa kita harus pusing, terganggu dan mendapatkan penghargaan dari manusia? Bukankah DIA adalah Sang Maha Adil...??