Kamis, 06 November 2008


Apakah Kita Butuh Penghargaan ?
(Single Mom's Matters)

by : Titut Mulyono

Being Single Mom, sepertinya selalu mendatangkan atau menarik masalah. Baik dalam lingkungan kerja, keluarga, maupun sosial; baik masalah besar maupun kecil. Banyak "labeling" yang di"tempel"kan pada seorang single mom, sementara di sisi lain single mom terus ditumpuki oleh segudang "keharusan" dan kewajiban. Hal ini yang sering membuat seorang single mom menjadi extra sensitif.

Ada seorang teman saya, sebut saja bernama Tina, yang menceritakan kekesalannya pada mantan suaminya, di masa pasca perceraian. Tina yang telah hampir 3 tahun menjadi single mom, dan kedua anaknya tinggal dengannya, menceritakan kepada saya, bahwa suatu hari dikala ia tengah bekerja dan tidak ada di rumah, mantan suaminya datang ke rumahnya untuk menjenguk kedua anak mereka. Jika dilihat selintas, hal tersebut seharusnya tidak menjadi sebuah masalah. Namun, Tina merasa jengkel, karena mantan suaminya tersebut tidak memberi kabar apapun atas niatnya untuk mengunjungi anak-anak. Dan Tina baru mengetahuinya beberapa hari kemudian, dari kedua anaknya itu.

Tina merasa begitu geram pada mantan suaminya yang telah menikah lagi itu. Ia merasa dilangkahi, karena sang mantan telah memasuki rumahnya tanpa kulonuwun atau assalamu'alaikum terlebih dahulu kepada pemilik rumah yaitu dirinya. Menurut Tina, hal tersebut sangat keterlaluan. Karena bagaimanapun, mantan suaminya, sekalipun adalah ayah dari kedua anaknya, bukanlah lagi menjadi bagian dari rumah tempat dimana Tina tinggal. Sudah sepatutnya jika sang mantan ingin memasuki rumahnya, kulonuwun atau assalamu'alaikum terlebih dahulu. Tina merasa ia tidak lagi dihargai oleh mantannya itu.

Kemudian Tina mencoba menghubungi mantan suaminya itu melalui sms dan telepon. Tapi sang mantan tidak pernah menjawab sms dan teleponnya. Tina semakin geram, hingga suatu waktu ia berhasil menghubungi mantan suaminya itu melalui jalur maya, internet.

Dari pembicaraan Tina dengan mantannya, Tina menceritakan bahwa mantannya itu ternyata telah mem-blacklist nomor telepon Tina, sehingga apapun yang dikirimkan oleh Tina pada mantannya itu tidak akan pernah sampai dan tidak akan pernah dijawab. Dan ketika Tina menanyakan mengapa mantannya itu tidak memberi kabar padanya ketika akan menjenguk kedua anak mereka, Tina merasa sangat kaget dengan jawaban sang mantan yang mengatakan bahwa "tidak penting" untuk memberi kabar padanya, ataupun kulonuwun terlebih dahulu. Malah Tina dikatakan oleh mantannya sebagai wanita yang "gila hormat", sekalipun Tina sudah mengemukakan bahwa ia cukup dikabari saja melalui sms sekalipun, dan ia akan selalu mengijinkan kapanpun mantannya ingin menemui kedua anaknya, sekalipun pada waktu tengah malam atau dini hari. Dan yang lebih membuat Tina geram, adalah mantannya malah menuduhnya ingin menjauhkan dirinya dari kedua anaknya.

Tina sungguh sakit hati dengan perlakuan mantannya itu. Ia merasa mantannya itu sudah sama sekali tidak menghargai dirinya, sebagai ibu dari kedua anak mereka, yang telah membesarkan dan merawat kedua anak tersebut dengan keringat dan airmata. Dan semenjak itu, setiap kali mantannya datang ke rumah untuk mengajak kedua anak mereka jalan-jalan, Tina tidak mau lagi bertemu dengan mantannya.

Meskipun hingga saat ini, saya tidak habis mengerti mengapa hal tersebut dapat terjadi pada Tina, dan mengapa mantan suaminya itu berperilaku seperti itu, saya malah bertanya-tanya pada diri sendiri : Apakah kita perlu penghargaan atau dihargai (oleh mantan suami) ? Apalagi oleh seorang mantan yang berpola pikir seperti itu?

Lama saya berpikir dan merenung untuk mendapatkan jawaban itu. Saya juga menjadi bertanya kesana kemari untuk mendapatkan jawabannya. Pada akhirnya saya mendapatkan jawabannya, dan mengutarakannya, bahwa kita tidak perlu penghargaan atau dihargai oleh mantan suami kita, atas apapun yang telah kita lakukan kepada anak-anak kita; atau oleh siapapun. Keikhlasan dan niat baik, adalah kuncinya. Dan penghargaan dari manusia atau dihargai oleh manusia, adalah bukanlah hal yang penting. Karena baik perbuatan atau perkataan yang dilandasi oleh niat baik dan ikhlasan, akan mendapat penghargaan dan akan dihargai oleh Sang Pemilik Semesta. Mengapa kita harus pusing, terganggu dan mendapatkan penghargaan dari manusia? Bukankah DIA adalah Sang Maha Adil...??

1 komentar:

miko's weblog mengatakan...

tapi kadang kondisi kita baik yang sp maupun nga..... bisa saja sensitif... bisa saja melibatkan emosional... ..

Sebut saja si Tina tadi... dia memang tidak lagi memerlukan penghargaan , baik oleh mantan ataupun siapapun.... ..dan dia dah cukup iklahs menjalani (bayangkan dah selama 3 tahun "sendiri") apa yang dirasakan si Tina cukup bisa dipahami.... mengapa? bukankah seharusnya yang mendidik dan bertanggung jawab terhadap anak adalah suami? kalau slama ini si Tina mau mengasuh anak adalah bentuk pengorbanan. .. dan cukup mengerti kondisi suami yang mungkin "tidak mau/bisa" merawat anak ? apakah salah.... paling ngak "meskipun ngak diminta" si suami mesti kulonuwun... ...ini semata-mata untuk etis buat si lelaki sendiri semata-mata cermin pribadinya, bukan gila hormat dan sebagainya.. .. (apalagi memang si suami tidak layak untuk dihormati)

Cowok/lelaki, si suami itu tidak mesti harus tinggi besar, gagah perkasa, berwajah tampan, mempunyai kekayaan yang berlimpah atau bahkan menaklukkan banyak wanita....Gola gong... "lelaki" di jamannya.... pernah menulis ......
"Menjadi seoarang laki-laki tidak cuma berpetualang. Mengalahkan rasa takut, mengendalikan emosi atau hawa nafsu itu juga seorang lelaki. Mempunyai rasa tanggung jawab terhadap segala tingkah laku juga seorang lelaki. Menjadi lelaki pun tidak mesti menaklukkan wanita... "

Tanpa bermaksud menghakimi.. . yang "meng-handle" wanita adalah pria... termasuk perasaannya. ..... bukankah wanita dari tulang rusuk pria?

warm regards

miko