Senin, 29 September 2008


Mengapa Harus Berubah...?

by : Titut Mulyono


Tahukah anda, bahwa perceraian akan merubah sebagian besar kehidupan anda? Bahkan hal-hal baik yang biasa dilakukan ketika masih bersama, baik antara kita dengan pasangan kita, keluarga besar kita, bahkan anak-anak kita, bisa jadi akan hilang seiring dengan dicabutnya surat nikah?

Hal-hal yang hilang yang akan dapat langsung kita rasakan di masa-masa awal perpisahan adalah :

  1. Komunikasi.
  2. Pengertian.
  3. Toleransi.
  4. Kerja sama/koordinasi.

1. Komunikasi.

Sebagian besar perceraian yang terjadi, akan meninggalkan luka. Berbeda dengan cerai mati, cerai hidup selalu membawa masalah berbuntut. Di samping luka yang sulit untuk sembuh, rasa jera untuk berkomunikasi lagi dengan mantan, sering menambah parah hubungan atara insan yang bercerai. Belum lagi jika salah satu dari yang bercerai telah menikah lagi. Pendamping baru, sering menjadi tembok bagi hubungan komunikasi dan silaturahmi antara pihak yang bercerai. Belum lagi sakit hati antara keluarga besar kedua belah pihak. Buruknya komunikasi ini akan membawa dampak buruk bagi buah hati kita. Mereka akan selalu dihadapkan pada situasi "tegang", "permusuhan", dan bahkan mungkin situasi "genting" atau "perang", jika sudah meyangkut pada masalah ijin atas suatu hal yang akan dilakukan oleh buah hati kita.

Disini dituntut tingkat kedewasaan yang tinggi bagi orang tua yang berpisah. Orang tua, dituntut untuk dapat mengesampingkan "perasaan" atau "gengsi" diri sendiri, demi anak-anak. Dan hal ini benar-benar dituntut dari kedua belah pihak. Jika salah satu pihak saja yang memiliki tingkat kedewasaan yang tinggi, sementara pihak lainnya tidak, maka buruknya komunikasi akan terus terjadi, dan anak-anak akan terus menjadi korbannya. Karena itu, kita sebagai orang tua, mampukah kita melakukan hal yang terbaik untuk anak-anak kita di masa pasca perceraian..? Hal itu akan kembali kepada diri kita masing-masing.

2. Pengertian.

Pengertian, sekalipun sudah tidak bersurat-nikah, tetap harus dipertahankan. Jika kita bisa memiliki pengertian untuk saudara-saudara, atau sahabat-sahabat, atau teman-teman kita; mengapa kita tidak bisa memiliki pengertian kepada mantan suami/istri kita...?? Ingat ! Pengertian ini tidak semata-mata dimiliki oleh pasangan yang telah menikah saja. Tapi juga wajib dimiliki oleh siapapun, baik yang menikah maupun tidak. Apalagi jika telah menyangkut kepada hal proses pendidikan anak terhadap nilai-nilai dan norma-norma dalam kehidupan. Tahap ini baru akan bisa dicapai jika hubungan komunikasi antara kedua belah pihak telah tercapai. Jangan berharap akan ada pengertian pada sebuah hubungan (apapun hubungan tersebut) jika tidak terdapat komunikasi yang baik.

Sekali lagi, kembali orang tua yang bercerai, dituntut untuk mengesampingkan "ego"nya demi kebahagiaan dan kenyamanan bathin buah hati mereka. Karena jika kita selalu ingat, bahwa dampak yang akan diterima oleh anak-anak kita atas apa yang mereka alami (dalam hal ini perceraian kedua orangtuanya ) baru akan terlihat beberapa tahun ke depan. Apakah mereka akan dapat tumbuh dengan jiwa dan tubuh yang sehat.....? Semua itu tergantung dari apa yang kita perlakukan kepada mereka mulai hari ini dan ke depan. Jika kita memperlakukan mereka dengan baik dan benar, insyaAllah ke depannya pun mereka akan menjadi anak-anak yang baik. Begitu pula sebaliknya. Pilihannya ada di tangan kita, bukan di tangan mereka. Karena kita yang membentuk mereka akan menjadi seperti apa.

3. Toleransi.

Kehidupan pasca perceraian, memiliki banyak liku-liku. Dimana masing-masing individu akan menjalani hidupnya secara terpisah, tidak bersatu lagi seperti dulu. Karena itu permasalahan dari masing-masing pihak akan tetap muncul, yang mana pihak lainnya tidak lagi selalu mengetahui permasalahan apa yang sedang melanda salah satu dari mereka. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan atmosfir yang sehat dan baik bagi anak-anak, "sense of" toleransi antara kedua belah pihak yang telah berpisah, justru dituntut untuk menjadi lebih tinggi. Mengapa...? Karena kita tidak bisa lagi mengetahui secara otomatis, apa yang tengah dialami oleh mantan pasangan kita. Dan tidak mungkin lagi kita menuntut mantan pasangan kita untuk selalu bercerita mengenai perjalanan hidupnya, termasuk masalahnya. Karena itu, toleransi atau besar hati harus selalu dikedepankan, jika sudah menyangkut kepada pembentukan atmosfir yang sehat dan baik bagi anak-anak.

Lagi-lagi disini dituntut tingkat kedewasaan kedua belah pihak, bahkan mungkin ketiga atau keempat belah pihak, jika salah satu atau keduanya telah menikah lagi. Bukan hal yang mudah, memang..tapi juga bukan berarti sulit. Semua itu membutuhkan perjuangan. Tapi jangan takut....jika kita memiliki tujuan yang baik, maka Allah akan membukakan, memudahkan, dan melancarkan hal tersebut. InsyaAllah..

4. Kerjasama/koordinasi.

Masih perlukah...? Sekalipun sudah bercerai, kerjasama atau koordinasi masih sangat diperlukan,terutama jika menyangkut pada masa depan dan proses mendidik anak. Mengapa...? Karena sekalipun terjadi perceraian, bagi anak-anak, tidak ada kata "bekas" ayah ataupun "bekas" ibu. Anak-anak, pada suatu hari, mungkin akan dapat mengerti mengapa kedua orang tuanya bercerai. Kedewasaan mereka yang mengantarkan mereka pada sebuah pengertian dan pemahaman mengenai perceraian kedua orang tuanya. Tapi jangan lupa, yang membentuk kedewasaan dan kemampuan berpikir mereka, adalah kita juga, orang tuanya. Karena itu, sekalipun telah bercerai, kerjasama dan koordinasi diantara kedua orang tua, tetap dibutuhkan.

Contoh kecil saja, misalnya, jika anak-anak tinggal dengan ibunya, maka akan ada waktu-waktu rutin dimana sang ayah akan bertemu atau mengunjungi anak-anaknya. Waktu kunjungan ini sekalipun rutin, tetap harus dikoordinasikan. Karena bisa saja, ketika waktu berkunjung ayah tiba, anak-anak sedang sakit, atau sedang ulangan/ujian sekolah. Hal ini selayaknya dikoordinasikan, mengingat untuk kebaikan anak-anak itu sendiri.

Melihat ulasan di atas, seperti terbuka mata dan hati kita, bahwa pasca-perceraian itu sendiri, memerlukan tingkat kedewasaan yang tinggi yang dimiliki oleh kedua belah pihak. Jika kita masih sering mengedepankan "ego" sendiri, atau "ego" pendamping baru kita, maka sesungguhnya kita belum siap untuk bercerai. Karena yang akan menjadi korban berkepanjangan adalah buah hati kita sendiri.

Sanggupkah kita melihat buah hati kita selalu menjadi korban, atau bahkan rusak jiwanya oleh perbuatan kita sendiri...? Mari kita renungkan bersama dengan hati yang rendah serendah-rendahnya. Mari kita persiapkan perubahan masa pasca-perceraian ini, bukan hanya untuk diri kita, tapi juga untuk anak-anak kita.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Hmmm bener bu 4 hal tersbut pasti lagsung terasa....

Sebenernya sih kalo cerai itu yg paling kasian adalah anak...dan bener kata ibu, harus dipikirkan sematang-matangnya (wwiiihh kaya telor aja) kalo pengen cerai...karena dampak dari perubahan pasca cerai tersebut sangat berefek dalam psikologis anak...

Mudahan saya kalo udah merid gak cerai amieennn...tp kalo poligami sih pengen...hmm kayanya poligami gak mengakibat cerai deh...wkwkwkwkw

Al Rayan & Dimas mengatakan...

dari pada cerai mendingan combo aja hehehehe...kayak istilah di flexi aja. salut buat anda mbak yang bisa menjadi singel mom, tapi benar apa yang pernah di katakan ibu saya kepada saya bahwa"seorang ibu itu bisa sekaligus menjadi bapak tetapi seorang bapak belum tentu bisa sekaligus menjadi ibu"....HIDUP PEREMPUAN...HIDUP PEREMPUAN...HIDUP PEREMPUAN...!!! (kayak kampanye ya)